Permasalahan Penerapan Gugatan Sederhana dalam Mewujudkan Peradilan yang Sederhana
Permasalahan Penerapan Gugatan Sederhana dalam Mewujudkan Peradilan
yang Sederhana, Cepat, dan Berbiaya Ringan pada Pengadilan Negeri Pulang Pisau
Oleh
Dismas Lukito Ornasto, S.H.
(CPNS Analis Perkara Peradilan pada Pengadilan Negeri Pulang Pisau)
Gugatan sederhana atau small claim court merupakan salah satu mekanisme penyelesaian perkara perdata secara sederhana, ringkas, dan cepat. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (untuk selanjutnya disebut Perma 4/2019), penyelesaian Gugatan Sederhana didefinisikan sebagai tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materiil paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktiannya sederhana.[1] Gugatan sederhana dapat dikatakan merupakan manifestasi praktis dari perwujudan peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan, sebagaimana terdapat dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.[2] Praktis yang dimaksud dalam hal ini merupakan praktik secara nyata dalam penyelesaian perkara, yaitu melalui gugatan sederhana. Hal ini berlainan dengan penyelesaian perkara perdata pada umumnya, yaitu penyelesaian perkara perdata secara konvensional sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata Indonesia melalui RBg (Reglement Tot Regeling van Het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura) dan HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement). Secara singkat dapat dipahami bahwa substansi terpenting dari mekanisme gugatan sederhana adalah adanya pemangkasan proses dalam tahapan beracara, sehingga proses penyelesaian dapat dilakukan dengan lebih cepat, ringkas, dan sederhana. Dengan mekanisme tersebut, para pencari keadilan tidak perlu menunggu waktu yang lama untuk mendapatkan kepastian hukum dari sengketanya, karena proses penyelesaiannya akan berakhir di pengadilan tingkat pertama.[3]
Perbedaan mendasar antara gugatan sederhana dan gugatan konvensional terletak pada adanya syarat-syarat penentu apakah suatu gugatan dapat digugat secara sederhana atau secara konvensional. Seluruh gugatan pada dasarnya dapat diajukan secara konvensional, tetapi apabila memenuhi syarat-syarat maka diarahkan untuk melakukan gugatan secara gugatan sederhana. Syarat-syarat tersebut antara lain:
1. Nilai materiil objek gugatan yang paling banyak sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah),
2. Objek gugatan berupa wanprestasi dan/atau perbuatan melawan hukum,
3. Bukan merupakan kompetensi dari pengadilan khusus (seperti pengadilan niaga dan PHI)
4. Penggugat dan Tergugat berdomisili di wilayah hukum yang sama, atau menunjuk kuasa hukum yang berdomisili di wilayah hukum Tergugat, dan
5. Bukan merupakan gugatan dengan objek sengketa tanah.
Kelima syarat-syarat tersebut merupakan syarat kumulatif, yang mana memberikan arti bahwa syarat-syarat tersebut wajib dipenuhi untuk melaksanakan gugatan secara gugatan sederhana, tanpa terkecuali. Kelima syarat tersebut merupakan syarat awalan, terdapat syarat-syarat lanjutan apabila ingin melaksanakan gugatan sederhana yang seluruhnya terdapat prosedur pelaksanaan gugatan sederhana.
Gugatan sederhana merupakan pelaksanaan penyelesaian perkara perdata yang keutamaannya mengedepankan kecepatan penyelesaian perkara. Dalam waktu maksimal 25 (dua puluh lima) hari sejak perkara didaftarkan, perkara harus sudah selesai diputus. Ketentuan maksimal dimaksudkan agar pelaksanaan penyelesaian perkara di bawah ketentuan yang di atur, sehingga perkara menjadi lebih cepat diputus. Asas cepat merupakan mahkota dan tujuan utama dalam mekanisme gugatan sederhana, asas-asas lainnya yaitu sederhana dan berbiaya ringan mengikuti asas cepat sebagaimana maksud dan tujuan dari penyelenggaraan mekanisme gugatan sederhana tersebut. Akselerasi penggunaan mekanisme gugatan sederhana pada gugatan yang memenuhi kelima syarat di atas tersebut selaras dengan program pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 sebagaimana terdapat dalam Lampiran I Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024. Dalam RPJMN tersebut berfokus pada penegakan hukum nasional, salah satunya pada sistem peradilan perdata yaitu pelaksanaan eksekusi yang perlu dibenahi. Upaya dalam mewujudkan hal tersebut salah satunya melalui perubahan dalam pelaksanaan sita jaminan dalam proses pemeriksaan, sebagaimana terdapat dalam Pasal 17A Perma 4/2019. Dalam Perma 4/2019 mengatur hal yang baru yaitu pelaksanaan sita jaminan yang dapat dilaksanakan pada proses pemeriksaan, sedangkan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (untuk selanjutnya disebut Perma 2/2015) tidak diatur mengenai sita jaminan tersebut. Hal ini memberikan kepastian hukum terhadap objek yang dimiliki oleh Penggugat, sehingga Tergugat tidak dapat mengalihkan objek sampai adanya putusan pengadilan yang inkracht. Selain itu dalam RPJMN tersebut di atas juga memberikan fokus kepada penyempurnaan Hukum Ekonomi yang mendukung Kemudahan Berusaha, melalui penyusunan regulasi yang mendukung kemudahan berusaha, penguatan sistem berbasis TI dalam pelayanan dan penanganan permasalahan perdata, dan penguatan kelembagaan yang mendukung pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan. Pengaturan hukum materiil yang mengatur diatur melalui peraturan perundang-undangan tersendiri, tetapi dalam hal pengaturan hukum formiilnya, Mahkamah Agung dapat mengatur melalui pelaksanaan gugatan sederhana.
Prosedur dalam beracara Gugatan Sederhana sesuai dengan Perma 4/2019 adalah melalui tahapan-tahapan berikut antara lain: Penggugat mendaftarkan Gugatannya dalam Pengadilan Negeri di wilayah hukum di mana Penggugat dan Tergugat tinggal, Penggugat mengisi formulir gugatan yang formulirnya telah disediakan oleh Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut, perlu diingat bahwa dalam Gugatan Sederhana—yang menjadi bukti in casu adalah bukti berupa surat yang sudah dilegalisasi atau dimeteraikan di kantor pos, kemudian Tergugat menjawab gugatan dengan formulir yang telah disediakan. Dalam hal ini Penggugat dan Tergugat dapat menggunakan administrasi perkara gugatan sederhana secara elektronik. Ketentuan (dapat) diartikan bahwa dalam pelaksanaan gugatan sederhana, telah difasilitasi pelaksanaan administrasi secara e-court. Dalam hal ini Penggugat maupun Tergugat dapat memilih untuk menggunakan administrasi perkara secara elektronik ataupun secara manual. Penggugat dan Tergugat diberikan kebebasan dalam memilih, dengan diberikan pilihan tersebut. Peraturan Mahkamah Agung melalui penyederhanaan penyelesaian sengketa. Gugatan yang diajukan secara konvensional membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan gugatan yang diajukan dengan mekanisme gugatan sederhana.
Tahapan-tahapan dalam pelaksanaan penyelesaian gugatan sederhana, antara lain:
1. Pendaftaran,
2. Pemeriksaan kelengkapan gugatan sederhana,
3. Penetapan hakim dan penunjukan panitera pengganti,
4. Pemeriksaan pendahuluan,
5. Penetapan hari sidang dan pemanggilan para pihak,
6. Pemeriksaan sidang dan perdamaian,
7. Pembuktian, dan
8. Putusan.
Gugatan sederhana cukup jarang diajukan pada Pengadilan Negeri Pulang Pisau. Dari data terbuka yang terdapat dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Pulang Pisau, terdapat sejumlah 4 (empat) Gugatan Sederhana yang pernah diajukan (hingga artikel ini ditulis), sejak beroperasionalnya pengadilan tersebut pada tahun 2018.[4] Apabila dibandingkan dengan jumlah perkara gugatan yang masuk pada tahun 2021 yaitu sebesar 25 (dua puluh lima) perkara, maka angka tersebut tidak signifikan dibandingkan jumlah gugatan sederhana. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya jumlah gugatan sederhana yang diajukan di Pengadilan Negeri Pulang Pisau. Faktor tersebut antara lain faktor dalam dan faktor luar.
Faktor dalam yang dimaksud yaitu yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini, masyarakat Pulang Pisau masih banyak kurang mengerti mengenai esensi dari gugatan sederhana. Dapat dilihat dari jumlah perkara gugatan sederhana yang hanya berjumlah 4 (empat) perkara sepanjang berdirinya Pengadilan Negeri Pulang Pisau, padahal sektor ekonomi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Pulang Pisau menunjukkan kenaikan yang signifikan. Sebagaimana terdapat dalam Infografis yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Pulang Pisau, laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Pulang Pisau mendapatkan peringkat tertinggi di Kalimantan Tengah.[5] Laju pertumbuhan Kabupaten Pulang Pisau tercatat sebesar 2,69% jauh dibandingkan laju pertumbuhan Nasional yang sebesar -2,07%. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya terdapat proyeksi pertumbuhan yang cukup baik di saat pertumbuhan ekonomi dunia sedang terpuruk akibat pandemi Covid-19. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang naik signifikan di Kabupaten Pulang Pisau, Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri Pulang Pisau sebagai pembangun penegakan hukum nasional dapat menunjang pertumbuhan ekonomi. Hal ini dilakukan salah satunya dengan kemudahan menyelesaikan urusan bisnis. Hal yang mana merupakan ranah dan substansi dari gugatan, khususnya gugatan sederhana.
Sedangkan, faktor luar yang dimaksud yaitu di luar masyarakat itu sendiri. Terdapat syarat-syarat yang membatasi penggunaan gugatan sederhana. Secara singkat terdapat 2 (dua) syarat yang menyulitkan permohonan gugatan sederhana pada Pengadilan Negeri Pulang Pisau. Syarat tersebut yaitu mengenai objek sengketa yang bukan merupakan tanah dan Penggugat-Tergugat yang tidak berdomisili di wilayah hukum yang sama. Sebagaimana terdapat dalam register gugatan pada Pengadilan Negeri Pulang Pisau, sebagian besar gugatan yang diajukan berobjek tanah. Hal ini merupakan hambatan pertama dalam pelaksanaan gugatan sederhana, karena gugatan-gugatan yang diajukan pada umumnya merupakan gugatan berobjekkan tanah sehingga tidak dapat memenuhi kualifikasi gugatan sederhana. Hambatan yang kedua yaitu syarat yang mana Penggugat-Tergugat harus berdomisili di wilayah hukum yang sama. Dalam pelaksanaan penyelesaian perkara perdata, kenyataannya banyak para pihak yang tidak berdomisili di Kabupaten Pulang Pisau. Ketentuan sebagaimana tersebut di atas pada dasarnya dapat disimpangi dengan menunjuk kuasa atau Penasihat Hukum yang berdomisili di Kabupaten Pulang Pisau, namun dalam kenyataannya pula hanya sedikit Penasihat Hukum yang berdomisili di Kabupaten Pulang Pisau. Hal ini menimbulkan hambatan pada pelaksanaan gugatan sederhana, karena kurangnya representasi penegakan hukum melalui kehadiran Penasihat Hukum yang kredibel dalam merepresentasikan permasalahan perkara. Solusi yang dapat ditawarkan yaitu antara lain mendorong adanya Kantor Penasihat Hukum yang secara nyata berdomisili di Kabupaten Pulang Pisau sehingga selain memberikan representasi hukum yang jelas serta memberikan edukasi dan bantuan hukum di Kabupaten Pulang Pisau. Kendala lainnya dalam hal Penasihat Hukum yang tidak berada di Kabupaten Pulang Pisau, yaitu adanya jarak yang harus ditempuh sehingga membuat penyelesaian hukum dilaksanakan tidak secara efektif, hanya melalui sambungan telepon. Dengan adanya suatu kantor hukum, diharapkan pula pertumbuhan ekonomi dan bisnis yang signifikan di Kabupaten Pulang Pisau.
Penyelesaian perkara secara gugatan sederhana dapat dilakukan secara mudah dalam suatu pengadilan. Teknis dan persyaratan yang terperinci sudah diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung. Permasalahan sebagaimana disebutkan di atas, yaitu objek sengketa yang bukan merupakan tanah dan Penggugat-Tergugat yang tidak berdomisili pada wilayah hukum yang sama merupakan hambatan terbesar penerapan Gugatan Sederhana pada Pengadilan Negeri Pulang Pisau. Utamanya dalam pelaksanaan gugatan sederhana, terdapat banyak hal yang menjadi nilai plus, antara lain tercapainya visi peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Dalam hal ini tetapi sulit dilaksanakan karena menemui berbagai hambatan dan rintangan, utamanya dalam persyaratan yang diatur secara kumulatif.
Daftar Pustaka
Ariani, N. V., 2016. Gugatan Sederhana Dalam Sistem Peradilan di Indonesia. De Jure, 18(September 2018).
Badan Pusat Statistik Kabupaten Pulang Pisau, 2021. [Online]
Dapat diakses melalui: https://pulpiskab.bps.go.id/publication/2021/10/29/a856a0ba8da2cffa0c797afb/buku-saku-data-strategis-kabupaten-pulang-pisau-dalam-infografis-2021.html
[Diakses 19 Juli 2022].
Mansyur, R. & Witanto, D., 2017. Gugatan Sederhana Teori Praktik dan Permasalahannya. Jakarta: Pustaka Dunia.
Syarifuddin, H. M., 2020. Small Claim Court: Dalam Sistem Peradilan Perdata di Indonesia. Jakarta: Imaji Cipta Karya.
[1] Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. PERMA No. 4 Tahun 2019 (selanjutnya disebut Perma 4/2019), Pasal 1 angka 1
[2] Indonesia, Undang-undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, LN Nomor 157, Tahun 2009, TLN Nomor 5076, Pasal 2 ayat (4).
[3] H. M. Syarifuddin, Small Claim Court: Dalam Sistem Peradilan Perdata di Indonesia, (Jakarta: Imaji Cipta Karya, 2020) hlm. 20
[4] Data diakses dari http://sipp.pn-pulangpisau.go.id/list_perkara/type/NWdZRjVIUktqS2tTRVJsMlNQU21HNHhGbmJXVVBsKzdnbU1BNEJ0V096TU1jNjN2Zi92RkpkeFdtV3NwWE9RSDBVMGt5V3FuYjRELzcvdC9ZajhXVHc9PQ==, pada tanggal 19 Juli 2022
[5] Badan Pusat Statistik Kabupaten Pulang Pisau, Buku Saku Data Strategis Kabupaten Pulang Pisau, (Pulang Pisau: BPS Kabupaten Pulang Pisau, 2021), hlm. 20
click here to Download this Article