Kepaniteraan Pidana
PANITERA
MUDA PIDANA |
||||||||||||||
Uraian tugas Panitera Muda Pidana,
sebagai berikut: |
||||||||||||||
1. |
Pelaksanaan
pemeriksaan dan penelaahan kelengkapan berkas perkara pidana. |
|||||||||||||
2. |
Pelaksanaan
registrasi perkara pidana. |
|||||||||||||
3. |
Pelaksanaan
penerimaan permohonan praperadilan dan pemberitahuan kepada termohon. |
|||||||||||||
4. |
Pelaksanaan
distribusi perkara yang telah deregister untuk diteruskan kepada ketua
majelis hakim berdasarkan penetapan penunjukkan majelis hakim dari ketua
pengadilan. |
|||||||||||||
5. |
Pelaksanaan
perhitungan, penyiapan dan pengiriman penetapan penahanan, perpanjangan
penahanan dan penangguhan penahanan. |
|||||||||||||
6. |
Pelaksanaan
penerimaan permohonan izin penggeledahan dan izin penyitaan dari penyidik. |
|||||||||||||
7. |
Pelaksanaan
penerimaan kembali berkas perkara yang sudah diputus dan diminutasi. |
|||||||||||||
8. |
Pelaksanaan
penerimaan dan pengiriman berkas perkara yang dimohonkan banding, kasasi,
peninjauan kembali, dan grasi. |
|||||||||||||
9. |
Pelaksanaan
pengawasan terhadap pemberitahuan isi putusan upaya hukum kepada para pihak
dan menyampaikan relaas penyerahan isi putusan kepada Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agung. |
|||||||||||||
10. |
Pelaksanaan
penerimaan laporan eksekusi dari JPU. |
|||||||||||||
11. |
Pelaksanaan
penyerahan berkas perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap kepada panitera
muda hukum. |
|||||||||||||
12. |
Membantu
hakim dengan mengikuti dan mencatat jalannya sidang pengadilan. |
|||||||||||||
| ||||||||||||||
PETUGAS
MEJA I |
||||||||||||||
Uraian tugas Petugas Meja I,
sebagai berikut: |
||||||||||||||
1. |
Menerima
berkas perkara pidana. |
|||||||||||||
2. |
Mencatat
register perkara banding, kasasi, dan tipiring. |
|||||||||||||
3. |
Mencatat
register penahanan majelis hakim. |
|||||||||||||
4. |
Mencatat
register barang bukti dan penyimpanan barang bukti. |
|||||||||||||
5. |
Memasukkan
data perkara pidana ke SIPP/CTS |
|||||||||||||
PETUGAS
MEJA II Uraian tugas Petugas Meja II, sebagai berikut:
STAF/PELAKSANA |
||||||||||||||
Uraian
tugas Staf/Pelaksana, sebagai berikut: |
||||||||||||||
1. |
Menerima,
memeriksa dan menindaklanjuti pelimpahan berkas perkara pidana. |
|||||||||||||
2. |
Menginput
data limpah perkara pidana ke SIPP, mencetak, memproses kelengkapan berkas
kemudian menyerahkan kepada PP terkait. |
|||||||||||||
3. |
Menerima
dan menindaklanjuti upaya hukum (pernyataan banding, kasasi, PK, dan grasi) |
|||||||||||||
4. |
Menindaklanjuti
berkas perkara yang dimohonkan upaya hukum banding, kasasi, PK, dan grasi. |
|||||||||||||
5. |
Menindaklanjuti
Salinan dan petikan putusan pengadilan atas permintaan pihak berperkara. |
|||||||||||||
6. |
Mencatat
register induk perkara, penahanan, penyitaan, penggeledahan, barang bukti,
dan tilang. |
|||||||||||||
7. |
Membuat
monev bulanan. |
|||||||||||||
8. |
Menerima,
menginput dan mempersiapkan data untuk sidang tilang pada SIPP. |
|||||||||||||
9. |
Melaksanakan
tugas-tugas yang diberikan oleh Pimpinan. |
|||||||||||||
10. |
Mempertanggungjawabkan tugasnya kepada atasan langsung. |
Pemeriksaan
Perkara Pidana dengan Acara Biasa
1. Penunjukan
hakim atau majelis hakim dilakukan oleh KPN setelah Panitera mencatatnya di
dalam buku register perkara seterus¬nya diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menetapkan Hakim/ Majelis yang menyidangkan perkara tersebut.
2. Ketua
Pengadilan Negeri dapat mendelegasikan pembagian perkara kepada Wakil Ketua
terutama pada Pengadilan Negeri yang jumlah perkaranya banyak.
3. Pembagian
perkara kepada Majelis/ Hakim secara merata dan terhadap perkara yang menarik
pehatian masyarakat, Ketua Majelisnya KPN sendiri atau majelis khusus.
4. Sebelum berkas
diajukan ke muka persidangan, Ketua Majelis dan anggotanya mempelajari terlebih
dahulu berkas perkara.
5. Sebelum
perkara disidangkan, Majelis terlebih dahulu mempelajari berkas perkara, untuk
mengetahui apakah surat dakwaan telah memenuhi-syarat formil dan materil.
6. Syarat formil:
nama, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, tempat tinggal, pekerjaan
terdakwa, jenis kelamin, kebangsaan dan agama.
7. Syarat-syarat materiil:
a. Waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (tempus delicti dan locus delicti);
b. Perbuatan yang didakwakan harus jelas dirumuskan unsur-unsurnya;
c. Hal-hal yang menyertai perbuatan-perbuatan pidana itu yang dapat menimbulkan masalah yang memberatkan dan meringankan.
8. Mengenai butir a dan b merupakan syarat mutlak, apabila
syarat-syarat tersebut tidak ter¬penuhi dapat mengakibatkan batalnya surat
dakwaan (pasal 143 ayat 3 KUHAP).
9. Dalam hal Pengadilan berpendapat bahwa perkara menjadi
kewenangan pengadilan lain maka berkas perkara dikembalikan dengan penetapan
dan dalam tempo 2 X 24 jam, dikirim kepada Jaksa Penuntut Umum dengan perintah
agar diajukan ke Pengadilan yang berwenang (pasal 148 KUHAP).
10. Jaksa Penuntut Umum selambat-lambatnya dalam waktu 7
(tujuh) hari dapat mengajukan perlawanan terhadap penetapan tersebut dan dalam
waktu 7 (tujuh) hari Pengadilan Negeri wajib mengirimkan perlawanan tersebut ke
Pengadilan Tinggi (pasal 149 ayat 1 butir d KUHAP).
11. Pemeriksaan dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip persidangan
diantaranya pemeriksaan terbuka untuk umum, hadirnya terdakwa dalam persidangan
dan pemeriksaan secara langsung dengan lisan.
12. Terdakwa yang tidak hadir pada sidang karena surat panggilan
belum siap, persidangan ditunda pada hari dan tanggal berikutnya.
13. Ketidakhadiran terdakwa pada sidang tanpa alasan yang sah, sikap yang diambil:
a. sidang ditunda pada hari dan tanggal berikutnya;
b. memerintahkan Penuntut Umum untuk memanggil terdakwa;
c. jika panggilan kedua, terdakwa tidak hadir lagi tanpa alasan yang sah, memerintahkan Penuntut Umum memanggil terdakwa sekali lagi;
d. jika terdakwa tidak hadir lagi, maka memerintahkan Penuntut Umum untuk menghadirkan terdakwa pada sidang berikutnya secara paksa
14. Keberatan diperiksa dan diputus sesuai dengan ketentuan KUHAP.
15. Perkara yang terdakwanya ditahan dan diajukan permohonan
penangguhan/ pengalihan penahanan, maka dalam hal dikabulkan atau tidaknya
permohonan tersebut harus atas musyawarah Majelis Hakim.
16. Dalam hal permohonan penangguhan/ pengalihan penahanan
dikabulkan, penetapan ditandatangani oleh Ketua Majelis dan Hakim Anggota.
17. Penahanan terhadap terdakwa dilakukan berdasar alasan sesuai
Pasal 21 ayat (1) dan ayat (4) KUHAP, dalam waktu sesuai Pasal 26, Pasal 27, Pasal
28 dan Pasal 29 KUHAP.
18. Penahanan dilakukan dengan mengeluarkan surat perintah penahanan
yang berbentuk penetapan.
19. Penangguhan penahanan dilakukan sesuai Pasal 31 KUHAP.
20. Dikeluarkannya terdakwa dari tahanan dilakukan sesuai Pasal 26
ayat (3) dan Pasal 190 huruf b.
21. Hakim yang berhalangan mengikuti sidang, maka KPN menunjuk Hakim
lain sebagai penggantinya.
22. Kewajiban Panitera Pengganti yang mendampingi Majelis Hakim
untuk mencatat seluruh kejadian dalam persidangan.
23. Berita Acara Persidangan mencatat segala kejadian disidang yang
berhubungan dengan pemeriksaan perkara, memuat hal penting tentang keterangan
saksi dan keterangan terdakwa, dan catatan khusus yang dianggap sangat penting.
24. Berita Acara Persidangan ditandatangani Ketua Majelis dan
Panitera Pengganti, sebelum sidang berikutnya dilaksanakan.
25. Berita Acara Persidangan dibuat dengan rapih, tidak kotor, dan
tidak menggunakan tip-ex jika terdapat kesalahan tulisan.
26. Ketua Majelis Hakim/ Hakim yang ditunjuk bertanggung jawab atas
ketepatan batas waktu minutasi.
27. Segera setelah putusan diucapkan Majelis Hakim dan Panitera
Pengganti menandatangani putusan.
28. Segera setelah putusan diucapkan pengadilan memberi¬kan petikan
putusan kepada terdakwa atau Penasihat Hukumnya dan Penuntut Umum.
Pemeriksaan Perkara Pidana
dengan Acara Singkat
1. Berdasarkan
pasal 203 KUHAP maka yang diartikan dengan perkara acara singkat adalah perkara
pidana yang menurut Penuntut Umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan
sifatnya sederhana.
2. Pengajuan
perkara pidana dengan acara singkat oleh Penuntut Umum dapat dilakukan pada
hari¬-hari persidangan tertentu yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri
yang bersangkutan.
3. Pada
hari yang telah ditetapkan tersebut penuntut umum langsung membawa dan
melimpahkan perkara singkat kemuka Pengadilan.
4. Ketua
Pengadilan Negeri sebelum menentukan hari persidangan dengan acara singkat,
sebaiknya mengadakan koordinasi dengan Kepala Kejaksaan Negeri setempat dan
supaya berkas perkara dengan acara singkat diajukan tiga hari sebelum hari persidangan.
5. Penunjukan
Majelis/ Hakim dan hari persidangan disesuaikan dengan keadaan di daerah
masing-masing.
6. Pengembalian
berkas perkara kepada kejaksaan atas alasan formal atau berkas perkara tidak
lengkap.
7. Pengembalian
berkas perkara dilakukan sebelum perkara diregister.
8. Cara
pengembalian kepada kejaksaan dilakukan secara langsung pada saat sidang di
pengadilan tanpa prosedur adminstrasi.
9. Dalam
acara singkat, setelah sidang dibuka oleh Ketua Majelis serta menanyakan
identitas terdakwa kemudian Penuntut Umum diperintahkan untuk menguraikan
tindak pidana yang didakwakan secara lisan, dan hal tersebut dicatat dalam
Berita Acara Sidang sebagai pengganti surat dakwaan (pasal 203 ayat 3 KUHAP).
10. Tentang
pendaftaran perkara pidana dengan acara singkat, didaftar di Panitera Muda
Pidana setelah Hakim memulai pemeriksaan perkara.
11. Apabila
pada hari persidangan yang ditentukan terdakwa dan atau saksi-saksi tidak
hadir, maka berkas dikembalikan kepada Penuntut Umum secara langsung tanpa
penetapan, sebaiknya dengan buku pengantar (ekspedisi).
12. Hakim
dalam sidang dapat memerintahkan kepada penuntut umum mengadakan pemeriksaan
tambahan untuk menyempurnakan pemeriksaan penyidikan jika hakim berpendapat
pemeriksaan penyidikan masih kurang lengkap.
13. Perintah
pemeriksaan tambahan dituangkan dalam surat penetapan.
14. Pemeriksaan
tambahan dilakukan dalam waktu paling lama 14 hari, sejak penyidik menerima
surat penetapan pemeriksaan tambahan.
15. Jika
hakim belum menerima hasil pemeriksaan tambahan dalam waktu tersebut, maka
hakim segera mengeluarkan penetapan yang memerintahkan supaya perkara diajukan
dengan acara biasa.
16. Pemeriksaan dialihkan ke pemeriksaan acara
cepat dengan tata cara sesuai Pasal 203 ayat (3) huruf b KUHAP.
17. Untuk kepentingan persidangan Hakim menunda
persidangan paling lama 7 hari.
18. Putusan
perkara pidana singkat tidak dibuat secara khusus tetapi dicatat dalam Berita
Acara Sidang.
19. BAP
dibuat dengan rapi, tidak kotor, dan tidak menggunakan tip ex jika terdapat
kesalahan tulisan diperbaiki dengan renvoi.
20. Ketua Majelis Hakim/ Hakim yang ditunjuk
bertanggung- jawab atas ketepatan batas waktu minutasi.
21. Paling
lambat sebulan setelah pembacaan putusan, berkas perkara sudah diminutasi.
22. Hakim
memberikan surat yang memuat amar putusan kepada terdakwa atau penasihat
hukumnya, dan penuntut umum.
Sumber diolah dari:
1. Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis
Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung
RI, 2008, hlm. 28-29.
2. “Tata Cara Pemeriksaan Administrasi
Persidangan” dalam buku Tata Laksana Pengawasan Peradilan, Buku IV, Edisi 2007,
Badan Litbang Diklat Kumdil MA RI, 2007, hlm. 138-140. Keputusan Ketua Mahkamah
Agung RI Nomor 145/KMA/SK/VIII/2007 tentang Memberlakukan Buku IV Pedoman
Pelaksanaan Pengawasan di Lingkungan Badan-Badan Peradilan.
Pemeriksaan Perkara Pidana
Acara Cepat
TINDAK PIDANA RINGAN:
1. Pengadilan
menentukan hari tertentu dalam 7 (tujuh) hari untuk mengadili perkara dengan
acara pemeriksaan tindak pidana ringan.
2. Hari
tersebut diberitahukan Pengadilan kepada Penyidik supaya dapat mengetahui
dan mempersiapkan pelimpahan berkas
perkara tindak pidana ringan.
3. Pelimpahan
perkara tindak pidana ringan, dilakukan Penyidik tanpa melalui aparat Penuntut
Umum.
4. Penyidik
mengambil alih wewenang aparat Penuntut Umum.
5. Dalam
tempo 3 (tiga) hari Penyidik menghadapkan segala sesuatu yang diperlukan ke
sidang, terhitung sejak Berita Acara Pemeriksaan selesai dibuat Penyidik.
6. Jika
terdakwa tidak hadir, Hakim dapat menyerahkan putusan tanpa hadirnya terdakwa;
7. Setelah
Pengadilan menerima perkara dengan Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan,
Hakim yang bertugas memerintahkan Panitera untuk mencatat dalam buku register.
8. Pemeriksaan
perkara dengan Hakim tunggal.
9. Pemeriksaan
perkara tidak dibuat BAP, karena Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat oleh
penyidik sekaligus dianggap dan dijadikan BAP Pengadilan.
10. BAP
Pengadilan dibuat, jika ternyata hasil pemeriksaan sidang Pengadilan terdapat
hal-hal yang tidak sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat Penyidik.
11. Putusan
dalam pemeriksaan perkara tindak pidana ringan tidak dibuat secara khusus dan
tidak dicatat/ disatukan dalam BAP. Putusannya cutup berupa bentuk catatan yang
berisi amar-putusan yang disiapkan/dikirim oleh Penyidik.
12. Catatan
tersebut ditanda tangani oleh Hakim.
13. Catatan
tersebut juga dicatat dalam buku register.
14. Pencatatan
dalam buku register ditandatangani oleh Hakim dan Panitera sidang.
PERKARA PELANGGARAN
LALULINTAS JALAN
1. Catatan
pemeriksaan yang dibuat Penyidik, memuat dakwaan dan pemberitahuan diserahkan
kepada Pengadilan selambat-lambatnya pada kesempatan hari sidang pertama.
2. Panitera
dalam pemeriksaan sidang tidak perlu membuat berita acara. Putusan adalah
berupa catatan Hakim dalam formulir tilang dan Panitera Pengganti melapor
pada petugas register untuk mencatat
dalam buku register.
3. Pada
hari dan tanggal yang ditentukan dalam pemberitahuan pemeriksaan terdakwa atau
wakilnya tidak datang di sidang Pengadilan pemeriksaan perkara tidak ditunda
tetapi dilanjutkan.
4. Dalam
hal putusan diucapkan diluar hadirnya terdakwa, Panitera segera menyampaikan
surat amar putusan kepada terdakwa melalui Penyidik.
5. Penyidik
mengembalikan surat amar putusan yang telah diberitahukan itu kepada Panitera.
6. Panitera
meneliti apakah dalam surat amar putusan terdapat tanggal serta tanda tangan
terpidana.
7. Tenggang
waktu mengajukan perlawanan 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal
pemberitahuan putusan kepada terpidana.
8. Panitera
memberitahukan kepada Penyidik tentang adanya pengajuan perlawanan dari
terpidana.
9. Pemberitahuan
disusul dengan Penetapan Hakim tentang hari sidang untuk memeriksa kembali
perkara yang bersangkutan.
10. Pengembalian
barang sitaan/ bukti segera setelah putusan dijatuhkan dan setelah yang
bersangkutan memenuhi amar putusan.
Sumber: “Tata Cara
Pemeriksaan Administrasi Persidangan” dalam buku Tata Laksana Pengawasan
Peradilan, Buku IV, Edisi 2007, Badan Litbang Diklat Kumdil MA RI, 2007, hlm.
140-142. Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 145/KMA/SK/VIII/2007
Pra Peradilan
1. Pra
peradilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus:
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan atau
penahanan;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan
atau penghentian penuntutan;
c. Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi
oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya
tidak diajukan ke pengadilan. (Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77 KUHAP);
d.
Sah atau tidaknya penyitaan barang bukti (Pasal 82 ayat 1 huruf b KUHAP).
2. Yang
dapat mengajukan Pra peradilan adalah:
a. Tersangka, yaitu apakah tindakan penahanan
terhadap dirinya bertentangan dengan ketentuan Pasal 21 KUHAP, ataukah
penahanan yang dikenakan sudah melawati batas waktu yang ditentukan Pasal 24
KUHAP;
b. Penyidik untuk memeriksa sah tidaknya
penghentian penuntutan;
c. Penuntut Umum atau pihak ketiga yang
berkepentingan untuk memeriksa sah tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan. Yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan
misalnya saksi korban.
3. Tuntutan
ganti rugi, rehabilitasi yang diajukan oleh tersangka, keluarganya atau
penasihat hukumnya, harus didasarkan atas:
a. Penangkapan
atau penahanan yang tidak sah;
b. Penggeledahan
atau penyitaan yang pertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang;
c. Kekeliruan
mengenai orang yang ditangkap, ditahan atau diperiksa.
PROSES PEMERIKSAAN PRA
PERADILAN
1. Pra
peradilan dipimpin oleh Hakim Tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan
Negeri dan dibantu oleh seorang Panitera (Pasal 78 ayat (2) KUHAP).
2. Pada
penetapan hari sidang, sekaligus memuat pemanggilan pihak pemohon dan termohon
pra peradilan.
3. Dalam
waktu 7 (tujuh) hari terhitung permohonan pra peradilan diperiksa, permohonan
tersebut harus diputus.
4. Pemohon
dapat mencabut permohonan¬nya sebelum Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan
apabila disetujui oleh termohon. Kalau termohon menyetujui usul pencabutan
permohonan tersebut, Pengadilan Negeri membuat penetapan tentang pencabutan
tersebut.
5. Dalam
hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan sedangkan pemeriksaan
pra peradilan belum selesai maka permohonan tersebut gugur. Hal tersebut
dituangkan dalam bentuk penetapan.
UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN
PRA PERADILAN
1. Putusan
pra peradilan tidak dapat dimintakan banding (Pasal 83 ayat (1), kecuali
terhadap putusan yang menyatakan "tidak sahnya" penghentian
penyidikan dan penuntutan (Pasal 83 ayat (2) KUHAP).
2. Dalam
hal ada permohonan banding terhadap putusan pra peradilan sebagaimana dimaksud
Pasal 83 ayat (1) KUHAP, maka permohonan tersebut harus dinyatakan tidak
diterima.
3. Pengadilan
Tinggi memutus permintaan banding tentang tidak sahnya penghentian penyidikan
dan penuntutan dalam tingkat akhir.
4. Terhadap
Putusan pra peradilan tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi.
Sumber: Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, 2008, hlm. 54-56.
Penggeledahan
1. Sesuai
Pasal 33 ayat (1) KUHAP hanya penyidik yang dapat melakukan penggeledahan rumah
dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat.
2. Dalam
hal rumah yang akan digeledah terletak di wilayah hukum Pengadilan Negeri yang
lain, maka Ketua Pengadilan Negeri dari daerah tersebut hanya mengetahuinya.
3. Apabila
perkara yang bersangkutan belum dilaporkan kepada Pengadilan Negeri di tempat
kejadian perkara yang menurut ketentuan yang berlaku adalah Pengadilan Negeri
yang berwenang mengadili perkara tersebut, maka Ketua Pengadilan Negeri dalam
wilayah hukum dimana rumah tersebut terletak, wajib memberi izin penggeledahan.
4. Dalam
tindak pidana koneksitas yang berwenang memberi izin penggeledahan adalah Ketua
Pengadilan dimana perkara tersebut akan diajukan.
5. Dalam
keadaan yang sangat perlu dan mendesak penyidik dapat melakukan penggeledahan
tanpa terlebih dahulu memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat
(Pasal 34 KUHAP), dengan kewajiban segera melaporkan hal tersebut kepada Ketua
Pengadilan Negeri setempat untuk memperoleh persetujuan.
6. Kata
"segera" adalah waktu yang wajar pada kesempatan yang pertama apabila
situasi dan kondisi sudah memungkinkan, dan terhadap permohonan persetujuan
tersebut Ketua Pengadilan Negeri tidak boleh menolak.
Sumber:
- Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis
Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung
RI, 2008, hlm. 52-53
PROSEDUR PERMOHONAN PENYITAAN
1. Ketua
Pengadilan Negeri di wilayah mana barang yang akan disita berada, berwenang
untuk memberikan izin/ persetujuan penyitaan atas permohonan penyidik.
2. Apabila
perkara tersebut dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri di tempat terjadinya
tindak pidana, maka yang berwenang memberi izin penyitaan adalah Ketua
Pengadilan Negeri tersebut, sedangkan Ketua Pengadilan Negeri di wilayah mana
barang yang akan disita itu berada, hanya "Mengetahui".
3. Apabila
dalam persidangan Hakim memandang perlu dilakukan penyitaan atas suatu barang,
maka perintah Hakim untuk melakukan penyitaan ditujukan kepada Penyidik melalui
Penuntut Umum.
4. Ketentuan
mengenai penyitaan, yang terdapat dalam KUHAP berlaku pula untuk tindak pidana
khusus (misalnya tindak pidana korupsi) sepanjang tidak diatur lain.
Sumber: - Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, 2008, hlm. 53-54.
Penahanan dan Perpanjangan Penahanan
1. Penahanan
terhadap tersangka/ terdakwa dapat diperintahkan oleh Penyidik, Penuntut Umum
atau oleh Hakim berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku.
2. Dalam
masalah penahanan, maka sisa masa penahanan yang menjadi tanggung jawab
penyidik tidak boleh dipakai oleh Penuntut Umum untuk kepentingan penuntutan.
3. Perhitungan
pengurangan masa tahanan dari pidana yang dijatuhkan harus dimulai dari sejak
penangkapan/ penahanan oleh Penyidik, Penuntut Umum, dan Pengadilan.
4. Untuk
menghindari kesalahpahaman di pihak Kepala Lembaga Pemasyarakatan dalam
menghitung kapan tersangka/ terdakwa harus dikeluarkan dari Lembaga
Pemasyarakat maka tenggang-tenggang waktu penahanan harus disebutkan dengan
jelas dalam putusan.
5. Sejak
perkara terdaftar di Register Pengadilan Negeri maka tanggung jawab atas
perkara tersebut beralih pada Pengadilan Negeri, dan sisa masa penahanan
Penuntut Umum tidak boleh diteruskan oleh Hakim.
6. Apabila
tersangka tidak ditahan maka jika Hakim bermaksud menggunakan perintah
penahanan harus dilakukan dalam sidang (Pasal 20 ayat (3) KUHAP).
7. Apabila
tersangka atau terdakwa sakit dan perlu dirawat di rumah sakit, sedangkan ia
dalam keadaan ditahan, maka penahanan tersebut dibantar selama dilaksanakan
perawatan di rumah sakit.
8. Masa
penahanan karena tersangka atau terdakwa diobservasi karena diduga menderita
gangguan jiwa sejak tersangka atau terdakwa diobservasi ditangguhkan.
9. Dalam
hal Ketua Pengadilan Negeri mengabulkan permohonan perpanjangan penahanan yang
diajukan oleh Penuntut Umum berdasarkan Pasal 25 KUHAP tidak dibenarkan untuk
sekaligus mengalihkan jenis penahanan.
10. Penangguhan
penahanan dapat dikabulkan apabila memenuhi syarat yang ditentukan dalam pasal
31 ayat (1) KUHAP jo. Pasal 35, 36 PP No. 27 tahun 1983.
11. Yang
dapat mengajukan permohonan penang¬guhan adalah tersangka/ terdakwa (Pasal 31
ayat (1) KUHAP).
12. Besarnya
uang jaminan ditentukan Hakim dengan memperhatikan berat ringannya tindak
pidana yang didakwakan kepada terdakwa, kedudukan terdakwa/ penjamin dan
kekayaan yang dimiliki olehnya.
13. Uang
jaminan tersebut harus diserahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri. Uang
jaminan yang diminta Penuntut Umum ataupun Pengadilan Tinggi tetap harus
diserahkan dan disimpan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri (Pasal 35 PP No. 27
tahun 1983).
14. Apabila
terdakwa melarikan diri dan setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan tidak
diketemukan, maka uang jaminan tersebut berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan
menjadi milik negara, dan disetor ke kas negara.
15. Dalam
hal terdakwa melarikan diri, maka penjamin wajib membayar uang jaminan yang
telah ditetapkan dalam perjanjian, apabila penjamin tidak membayar, maka
melalui penetapan Pengadilan dilakukan penyitaan terhadap barang-barang milik
penjamin menurut hukum acara perdata dan kemudian barang tersebut dilelang dan
hasil lelang disetor ke kas negara.
16. Apabila
terdakwa melarikan diri, maka penjamin tidak dapat diajukan sebagai terdakwa ke
pengadilan dan mengenai persyaratan untuk diterima sebagai penjamin orang
tersebut harus memiliki kecakapan untuk bertindak cukup mampu dan bertempat
tinggal di Indonesia.
17. Pasal
21 ayat (4) KUHAP mengatur tentang tindak pidana yang terdakwanya dapat
ditahan. Dalam hal ketentuan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP terpenuhi, Hakim
dalam amar putusannya berbunyi memerintahkan agar terdakwa ditahan, putusan
untuk itu harus disesuaikan dengan rumusan Pasal 197 ayat (1) huruf K KUHAP,
yaitu memerintahkan agar terdakwa ditahan.
18. Untuk
menghindari keterlambatan dikeluarkan¬nya penetapan perpanjangan penahanan
(Pasal 29 KUHAP) oleh Ketua Pengadilan Tinggi, maka Ketua Pengadilan Negeri
harus menyampaikan surat permohonan perpanjangan penahanan selambat-lambatnya 1O (sepuluh)
hari sebelum masa penahanan berakhir.
19. Dalam
hal terdakwa atau Penuntut Umum mengajukan banding, maka kewenangan penahanan
beralih ke Pengadilan Tinggi sejak pernyataan banding tersebut.
20. Permohonan
banding harus segera dilaporkan dengan sarana komunikasi tercepat pada hari itu
juga kepada Pengadilan Tinggi.
21. Apabila
Ketua/ Hakim Pengadilan Tinggi akan melakukan penahanan, maka penetapan
penahanan harus segera dikeluarkan.
22. Pada
azasnya selama tersangka atau terdakwa berada dalam tahanan harus dikurangkan
segenapnya dari hukuman yang dijatuhkan oleh Hakim (Pasal 22 ayat (4) KUHAP),
akan tetapi apabila ada hal-hal yang khusus, Hakim dapat menjatuhkan putusan
tanpa memotong tahanan (Pasal 33 ayat (1) KUHP).
23. Yang
berwenang mengeluarkan tersangka/ terdakwa demi hukum dari tahanan adalah
pejabat ditempat mana tersangka/ terdakwa ditahan.
STATUS
TAHANAN
1. Tanggung
jawab yuridis penahanan untuk pemeriksaan acara biasa berada pada pengadilan
sejak perkara tersebut di limpahkan sedangkan untuk acara pemeriksaan acara
singkat sejak saat penyidangan perkara tersebut.
2. Sejak
putusan berkekuatan hukum tetap status terdakwa beralih menjadi narapidana.
3. Terhadap
putusan bebas atau putusan lepas dari tuntutan hukum dimana Jaksa Penuntut Umum
mengajukan kasasi terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
4. Apabila
masa penahanan telah sama dengan pidana penjara yang diputuskan oleh Pengadilan
maka terdakwa dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
5. Apabila
lamanya terdakwa ditahan telah sesuai dengan pidana penjara yang diputuskan
oleh Pengadilan Tinggi, maka Ketua
Pengadilan Negeri dapat memerintahkan terdakwa dikeluar¬kan dari tahanan demi hukum. Surat perintah tersebut
tembusannya dikirim ke Mahkamah Agung dan Jaksa kalau perkaranya kasasi.
6. Apabila
dalam tingkat banding, maka lamanya penahanan telah sama dengan pidana yang
dijatuhkan Pengadilan Negeri, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat mengeluarkan
dari tahanan atas izin Ketua Pengadilan Tinggi.
7. Paling
lambat 10 (sepuluh) hari sebelum masa penahanan berakhir Pengadilan Negeri
wajib menanyakan tentang status penahanan terdakwa kepada Pengadilan Tinggi
atau Mahkamah Agung sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
Sumber:
- Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana
Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, 2008, hlm. 45-50.
PENGADILAN ANAK
1. Dalam
hal anak melakukan tindak pidana sebelum berumur 18 (delapan belas) tahun dan
diajukan ke sidang Pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas
umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun tetap
diajukan ke sidang anak.
2. Hakim
yang mengadili perkara anak, adalah Hakim yang ditetapkan berdasarkan Surat
Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang
bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi.
3. Dalam
hal belum ada Hakim Anak, maka Ketua Pengadilan dapat menunjuk Hakim Anak
dengan memperhatikan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997, dengan
ketentuan yang bersangkutan segera diusulkan sebagai Hakim Anak.
4. Hakim
Anak memeriksa dan mengadili perkara anak dengan Hakim Tunggal, dan dalam hal
tertentu Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk Hakim Majelis (Yang dimaksud
dengan hal tertentu adalah apabila ancaman pidana atas tindak pidana yang
dilakukan anak yang bersangkutan lebih dari 5 (lima) tahun dan sulit
pembuktiannya).
5. Dalam
hal anak melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa dan atau
anggota TNI, maka anak yang bersangkutan diajukan ke sidang Anak, sedangkan
orang dewasa dan atau anggota TNI diajukan ke sidang yang bersangkutan.
6. Dalam
hal anak melakukan tindak pidana HAM Berat, diajukan ke sidang Anak.
Acara
persidangan anak dilakukan sebagai berikut:
1. Persidangan
dilakukan secara tertutup;
2. Hakim,
Penuntut Umum dan Penasihat Hukum Terdakwa tidak menggunakan Toga;
3. Sebelum
sidang dibuka, Hakim memerintahkan agar Pembimbing Kemasyarakatan menyampaikan
laporan hasil Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) mengenai anak yang bersangkutan;
4. Selama
dalam persidangan, Terdakwa wajib didampingi oleh orang tua atau wali atau
orang tua asuh, penasihat hukum dan pembimbing kemasya¬rakatan;
5. Pada
waktu memeriksa saksi, Hakim dapat memerintahkan agar Terdakwa dibawa keluar
ruang sidang, akan tetapi orang tua, wali atau orang tua asuh, Penasihat Hukum,
dan Pembimbing Kemasyarakatan tetap hadir;
6. Dalam
persidangan, Terdakwa Anak dan Saksi Korban Anak dapat juga didampingi oleh
Petugas Pendamping atas izin Hakim atau Majelis Hakim;
7. Putusan
wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum;
Penahanannya:
1. Hakim
di sidang pengadilan berwenang melakukan penahanan bagi anak paling lama 15
(lima belas) hari dan dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang
ersangkutan untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari;
2. Penahanan
dilakukan setelah dengan sungguh¬-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan
atau kepentingan masyarakat. Alasan penahanan harus dinyatakan secara tegas
dalam surat perintah penahanan;
3. Tempat
penahanan bagi anak harus dipisahkan dari orang dewasa;
Putusan:
1. Sebelum
mengucapkan putusannya, Hakim memberikan kesempatan kepada orang tua, wali atau
orang tua asuh, untuk mengemukakan segala ikhwal yang bermanfaat bagi anak.
2. Putusan
wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing
Kemasyarakatan.
3. Terhadap anak nakal dapat dijatuhi pidana
atau tindakan:
1.
Pidana yang dijatuhkan terdiri dari Pidana Pokok dan Pidana Tambahan.
Pidana Pokok meliputi: penjara, kurungan, denda atau pidana pengawasan. Pidana
Tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan/atau pembayaran ganti
rugi.
2.
Tindakan yang dapat dijatuhkan pada anak nakal berupa:
1. mengembalikan
kepada orang tua, wali atau orang tua asuh;
2. menyerahkan
pada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja; atau
3. menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi
Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan
kerja.
4. Terhadap
Terdakwa anak sedapat mungkin tidak dijatuhi pidana penjara (vide: UU No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).
5. Pidana
penjara, Pidana kurungan atau Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak
nakal paling lama atau paling banyak ½
(satu perdua) maksimum ancaman pidana bagi orang dewasa. Ketentuan ini
diberlakukan juga dalam hal minimum ancaman pidana bagi anak (yurisprudensi
tetap).
6. Apabila anak
nakal melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana
seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling
lama 10 tahun, akan tetapi apabila anal nakal tersebut belum mencapai usia 12
(dua belas) tahun, maka terhadap anak nakal tersebut hanya dapat dijatuhi
tindakan menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan
latihan kerja atau menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
7. Apabila anak
nakal yang melakukan tindak pidana belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun
yang tidak diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap
anak nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam
butir 3b di atas, dan dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang
ditetapkan oleh Hakim.
8. Dalam hal
anak nakal dijatuhi pidana denda dan denda tersebut tidak dapat dibayar, maka
diganti dengan wajib latihan kerja.
9. Wajib latihan
kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari
kerja dan lama latihan kerja tidak lebih 4 (empat) jam sehari serta tidak
dilakukan pada malam hari.
10. Pidana
bersyarat dapat dijatuhkan Hakim apabila pidana penjara yang dijatuhkan paling
lama 2 (dua) tahun, dan jangka waktu
masa pidana bersyarat paling lama 3 (tiga) tahun.
11. Dalam hal anak melakukan pelanggaran lalu lintas
jalan, diterapkan acara pemeriksaan menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam
KUHAP, demi kepentingan anak yang bersangkutan (yurisprudensi tetap).
Sumber:
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus,
Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, 2008, hlm. 83-88.