PROBLEMATIKA EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DALAM KEPAILITAN
(Dian Nur Pratiwi, S.H., M.H.Li, 198101082003122001, Pengadilan Negeri Pulang Pisau)
A. Pendahuluan
Pengertian Kepailitan berdasarkan Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, yang untuk selanjutnya disebut sebagai UUKPKPU adalah sita
umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim pengawas.[1] Hal ini berarti bahwa
Kepailitan sebagai suatu instrumen hukum yang berfungsi untuk membereskan semua
harta kekayaan debitor dalam rangka untuk membayarkan semua kewajiban utang
debitor kepada Kreditor.
Pada pokoknya pengaturan mengenai pemberesan harta kekayaan
debitor tersebut merupakan suatu perwujudan atau norma perintah yang sesuai
dengan ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata. Pasal 1131 KUHPerdata memuat
ketentuan normatif, sebagai berikut : “Segala kebendaan si berutang, baik yang
bergerak maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk
segala perikatan perseorangan.”[2] Berdasarkan Pasal tersebut mengandung arti bahwa setiap kreditor dapat diberikan jaminan berupa harta benda
milik debitor tanpa secara khusus diperjanjikan, dan semua harta kekayaan
debitor akan menjadi jaminan pembayaran utang debitor kepada kreditornya. Hal
ini merupakan perwujudan dari Prinsip Paritas Creditorium, yang memiliki tujuan agar semua kreditor dijamin pembayarannya
dengan segenap harta debitor. Secara tegas dikatakan bahwa semua kreditor akan
mendapatkan bagian yang disesuaikan dengan proporsi masing-masing.
Sedangkan untuk Pasal 1132 KUHPerdata memuat ketentuan normatif,
sebagai berikut: ”Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua
orang yang menguntungkan padanya, yaitu menurut besar kecilnya piutang
masing-masing, kecuali di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah
untuk didahulukan.”[3]
Dari ketentuan tersebut mengandung
arti bahwa setiap pihak atau kreditor yang
berhak atas pemenuhan perikatan dari harta kekayaan pihak yang berkewajiban
tersebut secara bersama-sama memperoleh pelunasan yang dihitung berdasarkan
pada besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara
keseluruhan terhadap seluruh harta kekayaan debitor. Jadi, apabila subjek hukum
memiliki satu kewajiban yang harus dipenuhi terhadap lebih dari satu subjek
hukum yang lain, maka akan berlaku Pasal 1132 KUHPerdata ini, yang mana Pasal ini merupakan penormaan dari prinsip Pari Passu Pro Rata
Parte, setiap pihak sebagai yang berhak atas pemenuhan perikatan dari harta
kekayaan pihak yang berkewajiban (Debitor) secara :
1.
Pari
Passu, yaitu secara bersama-sama
memperoleh pelunasan tanpa ada yang didahulukan, atau
2.
Prorata
parte, yaitu proporsional yang
dihitung berdasarkan piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka
secara keseluruhan terhadap harta kekayaan debitor tersebut.[4]
Dalam frasa terakhir pada
ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata tersebut yang menyebutkan “kecuali apabila di antara para
berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”, munculah rangking
kreditor, hal ini sejalan pula dengan UUKPKPU, lebih tegas lagi memuat prinsip structured
prorate.
Di dalam Pasal 1 angka 2 UUKPKPU disebutkan bahwa
kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Adapun berdasarkan Pasal 2
ayat (1) UUKPKPU disebutkan bahwa Debitor yang mempunyai dua atau lebih
kreditor dan tidak membayar lunas sedikit pun satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun permohonan satu atau lebih kreditornya. Hal ini
diperjelas lagi sebagaimana disebutkan di dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1)
UUKPKPU yang menyatakan bahwa “yang dimaksud dengan “kreditor” dalam ayat ini
adalah baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen.
Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen ini mereka dapat
mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas
kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitor dan haknya untuk
didahulukan. Bilamana terdapat sindikasi kreditor, maka masing-masing kreditor
adalah kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2. Dengan demikian
berdasarkan uraian pasal-pasal yang telah disebutkan sebagaimana tersebut di
atas berarti Kreditor dalam Pasal 1 ayat (1) UUKPKPU ini meliputi Kreditor
konkuren, kreditor dengan jaminan hak istimewa (kreditor preference) dan
kreditor dengan jaminan hak kebendaan (kreditor separatis).
Kreditor separatis atau kreditor dengan jaminan hak
kebendaan berupa gadai, hipotek, hak tanggungan dan jaminan fidusia adalah
sebagai kreditor pemegang Hak Separatis, hal ini berarti bahwa kreditor
tersebut mempunyai hak yang diberikan oleh hukum kepada kreditor untuk
melakukan eksekusi jaminan kebendaan yang dikuasainya berdasarkan kekuasaan
sendiri dalam hal debitor tidak memenuhi prestasinya.
Mengenai Kreditor Separatis itu sendiri, ternyata di
dalam UUKPKPU banyak ketentuan yang mengatur mengenai Pemegang Hak Tanggungan
dalam Kepailitan dan PKPU, di antaranya Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57 ayat (1)
sampai dengan (6), Pasal 58, Pasal 59,
di mana dalam ketentuan Pasal 55 ayat (1) UUKPKPU ini
disebutkan bahwa “Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap kreditor pemegang gadai, jaminan
fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat
mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.”[5]
Dari ketentuan Pasal 55 ayat (1) UUKPKPU tersebut
diketahui bahwa ternyata posisi Kreditor pemegang Hak Tanggungan apabila
terjadi pailit terhadap Debitor, dia dapat mengeksekusi sendiri haknya seolah-olah
tidak terjadi kepailitan. Akan tetapi ternyata terhadap ketentuan ini tetap
harus memperhatikan Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal 58, yang pada intinya Kreditor
Separatis ada masa stay selama 90 hari setelah debitor dinyatakan
pailit, di mana selama waktu 90 hari tersebut Kreditor pemegang Hak Tanggungan
tidak diperbolehkan untuk menjual objek jaminannya tersebut. Selanjutnya
dijelaskan pula dalam Pasal 57 ayat (1) bahwa jangka waktu 90 hari tersebut
bisa berakhir demi hukum apabila keadaan debitor sudah dinyatakan insolvensi
sebagaimana Pasal 178 ayat (1) UUKPKPU. Selain itu berdasarkan Pasal 59 UUKPKPU
pada intinya disebutkan mengenai jangka waktu eksekusi paling lambat 2 (dua)
bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi dan lewat dari 2 (dua) bulan, maka
Kurator harus menuntut agunan untuk diserahkan dan kemudian dijual sebagaimana
dalam Pasal 185 tanpa mengurangi hak kreditor pemegang Hak Tanggungan tersebut.
Khusus mengenai kreditor separatis dengan jaminan
kebendaan berupa Hak Tanggungan, ternyata selain diatur di dalam UUKPKPU juga
diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang untuk selanjutnya akan
disebut sebagai UUHT. Di dalam Pasal 1 UUHT disebutkan bahwa Hak Tanggungan
atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya
disebut sebagai Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap
kreditor-kreditor lain.[6] Di dalam Pasal 6 UUHT,
disebutkan pula bahwa kreditur pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak
untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan
umum, dari hasil pelelangan tersebut kreditur mengambil untuk pelunasan
piutangnya.[7]
Lalu bagaimana apabila seorang Debitor yang menjaminkan jaminan hak Tanggungan
tersebut dinyatakan pailit? Hal ini ternyata juga diatur di dalam Pasal 21 UUHT
yang menentukan bahwa apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, maka
pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya
menurut ketentuan UUHT.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa
ternyata mengenai eksekusi Hak Tanggungan yang mana Debitornya dinyatakan pailit ini
ternyata juga sama-sama diatur baik oleh UUKPKPU maupun oleh UUHT. Keadaan yang
demikian inilah menunjukkan adanya konflik norma yang nantinya akan menimbulkan
ketidakpastian hukum bagi pelaku ekonomi khususnya pemegang hak tanggungan
antara UUKPKPU dan UUHT yang mengatur tentang hak kreditor separatis termasuk
konflik norma mengenai eksekusi Hak Tanggungan dalam kepailitan sebagai cara
untuk mengembalikan hak bagi Kreditor Separatis sebagai wujud perlindungan
hukum baginya di tengah konflik norma yang terjadi.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka masalah hukum
yang akan diulas dalam makalah ini adalah :
1. Apa saja Problematika yang dihadapi dalam melaksanakan
eksekusi Hak Tanggungan Dalam Kepailitan dikaitkan adanya konflik norma antara
UUHT dan UUKPKPU?
2. Bagaimana prosedur eksekusi Hak Tanggungan Dalam
Kepailitan di Indonesia?
C. Pembahasan
1. Problematika Eksekusi Hak Tanggungan Dalam Kepailitan
Adanya dua ketentuan yang mengatur mengenai eksekusi Hak
Tanggungan dalam Kepailitan, yaitu dalam ketentuan UUHT dengan
Ketentuan UUKPKPU, tentunya menyebabkan konflik norma yang akan
menimbulkan multitafsir serta suatu ketidakpastian hukum bagi pelaku ekonomi
khususnya pemegang Hak Tanggungan yang mengatur mengenai hak kreditor separatis
pemegang Hak Tanggungan, yang
nantinya akan berpengaruh terhadap proses eksekusi Hak Tanggungan dalam
kepailitan.
Dalam Pasal 1 butir 1 UUHT, menjelaskan bahwa Hak
Tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu terhadap
kreditor-kreditor lain.[8] Dari pengertian tersebut,
dapat diketahui bahwa Hak tanggungan mempunyai beberapa ciri-ciri pokok, yaitu
: 1). Memberikan kedudukan diutamakan (preferensi) kepada kreditor-kreditornya/droit
de preference; 2). Selalu mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun berada/droit
de suite; 3). Memenuhi asas spesialitas dan publisitas; 4). Mudah serta
pasti pelaksanaan eksekusinya.[9]
Dalam UUHT, Eksekusi obyek hak tanggungan diatur dalam
Pasal 20 ayat (1) UUHT, yang mengatur bahwa “Apabila debitor cidera janji, maka
berdasarkan : a). hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau b). titel eksekutorial yang
terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara
yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang
Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lainnya.”
Berdasarkan pasal ini, dapat diketahui bahwa eksekusi terhadap obyek hak
tanggungan itu bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan Parate eksekusi/eksekusi
dengan kekuasaan sendiri dan fiat eksekusi/eksekusi melalui pengadilan.
Mengenai parate eksekusi, diatur dalam Pasal 6 UUHT,
pada pokoknya disebutkan bahwa kreditor pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak
untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan
umum serta selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
tersebut. Akan tetapi pelaksanaan penjualan obyek Hak Tanggungan tersebut lebih
lanjut diuraikan dalam Penjelasan Pasal 6 UUHT yang menyebutkan bahwa Hak untuk
menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu
perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan
terlebih dahulu harus didasarkan oleh janji yang diberikan oleh pemberi Hak
Tanggungan, apabila debitor cidera janji maka pemegang Hak tanggungan bisa
langsung menjual melalui pelelangan umum tanpa persetujuan dari pemberi Hak
Tanggungan.
Adapun Prosedur pelaksanaan parate eksekusi, sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 6 UUHT menegaskan bahwa pelaksanaan parate eksekusi
adalah melalui pelelangan umum, sehingga dalam hal ini dilakukan oleh Pejabat
Kantor Lelang Negara, sehingga prosedur parate eksekusi tanpa memerlukan fiat
Ketua Pengadilan Negeri, akan tetapi pada praktiknya, Kantor Lelang negara
dalam melaksanakan penjualan lelang eksekusi terhadap obyek hak tanggungan
harus ada fiat eksekusi Ketua Pengadilan Negeri dikarenakan
berdasarkan penjelasan umum angka 9 jo. penjelasan Pasal 14ayat 2 dan ayat 3
UUHT disebutkan bahwa pada intinya prosedur parate eksekusi harus mendasarkan
pada Pasal 224/Pasal 258 RBg, sehingga oleh karenanya pelaksanaan lelang harus
terlebih dahulu mendapatkan fiat Ketua Pengadilan Negeri di mana obyek Hak
Tanggungan berada.
Adapun mengenai cara eksekusi terhadap obyek hak
tanggungan yang kedua sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 20 UUHT yaitu fiat eksekusi/eksekusi melalui pengadilan, sertifikat
Hak Tanggungan ini muncul sebagai akibat hukum adanya irah-irah “Demi Keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang terdapat pada sertifikat Hak
Tanggungan. Dengan adanya irah-irah tersebut, mengakibatkan Sertifikat Hak
Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial seperti Putusan Pengadilan yang
sudah berkekuatan hukum tetap. Selama ini eksekusi melalui fiat eksekusi sering
dilakukan oleh Kreditor dibandingkan penjualan di bawah tangan atau penjualan
lelang atas kekuasaan sendiri/parate eksekusi menjadi pilihan utama dari Para
Kreditur. Jadi apabila debitor wanprestasi, maka kreditor akan mengajukan
permohonan ke Pengadilan untuk dilakukan eksekusi hak tanggungan berdasarkan titel
eksekutorial dalam Sertifikat Hak Tanggungan tersebut.
Sementara itu, ternyata pengaturan mengenai eksekusi Hak
Tanggungan oleh Kreditor
Separatis dalam Kepailitan, tidak
saja diatur dalam UUHT akan
tetapi juga di dalam UUKPKPU, sehingga menyebabkan terjadinya konflik norma di
Indonesia.
Dalam ketentuan Pasal 55 ayat (1) UUKPKPU, diketahui bahwa
ternyata posisi Kreditor pemegang Hak Tanggungan apabila terjadi pailit
terhadap Debitor, dia dapat mengeksekusi sendiri haknya seolah-olah tidak
terjadi kepailitan. Akan tetapi ternyata terhadap hal ini tidak bisa diterapkan
seketika sebagaimana yang berlaku dalam UUHT, karena untuk bisa
melakukan eksekusi terhadap Hak Tanggungan yang debitornya pailit ada
syarat-syarat tertentu yang membatasi, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 56
UUKPKPU, ada masa stay selama 90 hari setelah debitor dinyatakan pailit,
di mana selama waktu 90 hari tersebut Kreditor pemegang Hak Tanggungan tidak
diperbolehkan untuk menjual objek jaminannya tersebut. Di mana penangguhan ini
bertujuan antara lain : 1) untuk memperbesar kemungkinan tercapainya
perdamaian, 2) untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit; atau
3) untuk memungkinkan Kurator melaksanakan tugasnya secara optimal. Selama
berlangsungnya jangka waktu penangguhan, segala tuntutan hukum untuk memperoleh
pelunasan atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam sidang Badan
Peradilan, dan baik Kreditor maupun pihak ketiga dimaksud dilarang mengeksekusi
atau memohonkan sita atas benda yang menjadi agunan.[10]
Selanjutnya, setelah masa stay selama 90 hari itu berakhir, tidak
serta merta Kreditor pemegang Hak Tanggungan dapat langsung melakukan eksekusi
terhadap obyek hak tanggungan, karena untuk dapat melakukan eksekusi obyek hak tanggungan
tersebut, harus menunggu boedel pailit dalam status insolvensi
sebagaimana dalam Pasal 178 ayat (1) UUKPKPU, yang mana pernyataan demi hukum
harta pailit berada dalam keadaan insolvensi dinyatakan secara tegas oleh Hakim
Pengawas dalam Rapat Kreditor dan dituangkan dalam Berita Acara, tidak perlu
dengan Penetapan.[11] Setelah ada pernyataan
insolvensi itulah baru kemudian sebagaimana Pasal 59 ayat (1) UUKPKPU, kreditor
pemegang Hak Tanggungan bisa memulai untuk melaksanakan eksekusi secara
langsung (parate eksekusi) dalam jangka waktu 2 (dua) bulan setelah penetapan
insolvensi tersebut. Adapun untuk jangka waktu 2 (dua) bulan tersebut dimaksudkan kreditor
pemegang Hak Tanggungan sudah memulai melaksanakan haknya, bukan selesainya Kreditor melaksanakan eksekusi
sendiri, hal ini sejalan dengan
penjelasan Pasal 59 ayat (1) UUKPKPU yang berisi “Yang dimaksud dengan “harus
melaksanakan haknya” adalah bahwa Kreditor sudah mulai melaksanakan haknya”.[12]
Apabila ternyata waktu selama 2 (dua) bulan yang sudah
diberikan kepada Kreditor pemegang Hak Tanggungan untuk melakukan eksekusi
secara langsung (Parate eksekusi) terhadap obyek hak tanggungan sudah selesai,
maka berdasarkan Pasal 59 ayat (2) UUKPKPU, Kurator akan meminta
dokumen-dokumen hak tanggungan yang berkaitan dengan benda yang menjadi agunan
untuk selanjutnya dijual melalui pelelangan umum sebagaimana Pasal 185 UUKPKPU,
dan jika pelelangan umum tidak laku, maka Kurator bisa menjualnya dengan cara
penjualan di bawah tangan dengan persetujuan Hakim pengawas. Selanjutnya hasil dari penjualan obyek hak
tanggungan tersebut menjadi keutamaan untuk melunasi hutang debitor pada kreditor pemegang Hak
Tanggungan yang mana pembayarannya dikurangi dengan biaya-biaya dan hak yang
telah ditentukan dalam UUKPKPU.
Apabila dilihat prosedur eksekusi Hak Tanggungan dalam Kepailitan berdasarkan UUHT dan UUKPKPU, ternyata memang terjadi
konflik norma, di mana di dalam UUHT, Kreditor pemegang Hak Tanggungan
mempunyai kedudukan sebagai de droit preference dan de droit suite,
sehingga apabila Debitor melakukan wanprestasi maka Kreditor
dengan kekuasaan sendiri dapat menjual langsung obyek hak tanggungan, sebagai
salah satu ciri dari preferensi dan sifat kreditor separatis yang diberikan
kekuasaan atas jaminan, maka kepadanya diberikan hak oleh hukum untuk
mengeksekusi hak tanggungan sebagai perwujudan dari asas droit de preference.
Akan tetapi ternyata hal ini tidak berlaku apabila terjadi pada proses
kepailitan. Dalam arti apabila Debitor dijatuhi putusan Pailit, maka
berdasarkan UUKPKPU, meskipun dalam Pasal 55 ayat (1) UUKPKPU dinyatakan bahwa
kreditor pemegang hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak
agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak
terjadi kepailitan, akan tetapi ternyata dalam membaca Pasal tersebut tidak
bisa berdiri sendiri melainkan harus dibaca bersama-sama dengan Pasal 56, Pasal
57 dan Pasal 58 UUKPKPU, yang di dalamnya mengatur mengenai
persyaratan-persyaratan yang harus dilakukan sebelum kreditor pemegang Hak
Tanggungan bisa mengeksekusi sendiri seolah-olah tidak ada kepailitan, yaitu
dengan diberlakukannya masa stay selama 90 hari dan juga pembatasan selama 2
bulan untuk bisa menjual obyek hak tanggungan setelah masa insolven.
Dengan adanya penangguhan/masa stay selama 90 hari, maka
kreditor pemegang Hak Tanggungan tidak bisa lagi melaksanakan hak eksekusinya,
padahal setiap hak tanggungan mempunyai titel eksekutorial yang memberikan
kekuasaan kepada kreditor untuk melakukan eksekusi terhadap benda jaminan dari
debitor untuk pelunasan utang yang tak terbayar, di mana untuk titel
eksekutorial ini mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.
Berdasarkan uraian tersebut, maka yang menjadi pertanyaan
selanjutnya adalah, terkait dengan adanya problematika yang dihadapi dalam
eksekusi Hak Tanggungan dalam kepailitan dikaitkan dengan adanya konflik norma
antara UUHT dan UUKPKPU.
Dalam rangka menyelesaikan konflik norma, supaya dapat
melihat penerapan hukum/norma mana yang seharusnya berlaku tentu saja
diperlukan suatu asas untuk menyelesaikan konflik norma tersebut, yang dalam
hal ini dapat digunakan asas preferensi. Adapun asas preferensi ini adalah asas
hukum yang menunjuk hukum mana yang harus didahulukan atau diberlakukan jika
dalam suatu peristiwa hukum terkait atau terlanggar beberapa peraturan.[13]
Ada beberapa asas preferensi yaitu 1). Lex superiori
derogate legi inferiori yaitu peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi akan mengesampingkan peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah, 2). Lex specialis derogate legi generali,
yaitu peraturan yang khusus akan mengesampingkan peraturan yang umum sifatnya
atau peraturan yang khususlah yang harus didahulukan., 3). Lex posteriori
derogate legi priori, yaitu peraturan yang baru mengalahkan atau
mengesampingkan peraturan yang lama.
Apabila diterapkan asas Lex specialis derogate legi
generalis, maka UU yang berlaku adalah UUKPKPU, dikarenakan meskipun
sama-sama mengatur mengenai Hak Tanggungan akan tetapi apabila sudah masuk ke
ranah Kepailitan yang merupakan sita umum, maka semuanya tetap tunduk ke dalam
ranah kepailitan yang mana dalam hal ini diatur dengan UUKPKPU, termasuk di
dalamnya mengenai proses eksekusi Hak Tanggungan dalam kepailitan. Sehingga
dengan demikian terkait dengan penerapan hak eksekusi Hak Tanggungan yang
dijamin oleh UUHT tetap dapat dilaksanakan akan tetapi untuk pelaksanaannya
tetap harus tunduk pada UUKPKPU.
2. Prosedur Eksekusi Hak Tanggungan Dalam Kepailitan di
Indonesia
Terhadap problematika yang terjadi dalam eksekusi Hak
Tanggungan dalam Kepailitan di mana telah terjadi konflik norma mengenai adanya
pertentangan atau ketidakharmonisan antara UUHT dan UUKPKPU, berdasarkan uraian yang sudah
diulas dalam permasalahan tersebut
di atas, apabila
diterapkan asas Lex specialis
derogate legi generalis, maka UU yang berlaku adalah UUKPKPU, dikarenakan
meskipun sama-sama mengatur mengenai Hak Tanggungan akan tetapi apabila sudah
masuk ke ranah Kepailitan yang merupakan sita umum, maka semuanya tetap tunduk
ke dalam ranah kepailitan yang mana dalam hal ini diatur dengan UUKPKPU,
termasuk di dalamnya mengenai proses eksekusi Hak Tanggungan dalam kepailitan.
Sehingga dengan demikian
mengenai penerapan eksekusi Hak
Tanggungan yang dijamin oleh UUHT tetap dapat dilaksanakan akan tetapi untuk
pelaksanaannya tetap harus tunduk pada UUKPKPU.
Pasal 55 ayat (1) UUKPKPU disebutkan bahwa “Dengan tetap
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan
Pasal 58, setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,
hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya
seolah-olah tidak terjadi kepailitan.”[14] Dari ketentuan Pasal 55
ayat (1) UUKPKPU tersebut diketahui bahwa ternyata posisi Kreditor pemegang Hak
Tanggungan apabila terjadi pailit terhadap Debitor, dia dapat mengeksekusi
sendiri haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Maksud melakukan eksekusi
sendiri ini meskipun di dalam UUKPKPU tidak ada klausul menjual sendiri, akan
tetapi kembali mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 1 UUKPKPU mengenai
pengertian dari kepailitan sebagai sita umum. Oleh karena dalam hal debitor
pailit, berdasarkan Pasal 59 ayat (1) UUKPKPU, pelaksanaan hak parate eksekusi
terhadap obyek Hak Tanggungan tetap dapat dilaksanakan dalam jangka waktu 2
(dua) bulan setelah insolvensi dan lewat dari 2 (dua) bulan, maka Kurator harus
menuntut agunan untuk diserahkan dan kemudian dijual sebagaimana dalam Pasal
185 tanpa mengurangi hak kreditor pemegang Hak Tanggungan tersebut.
Kepailitan debitor tidak menghapus hak parate eksekusi
dari kreditor penerima hak tanggungan. Kepailitan hanya menangguhkan
pelaksanaan hak parate eksekusi tersebut dalam jangka waktu paling lama 90 hari
atau setelah harta pailit insolven. Sesuai ketentuan Pasal 59 ayat (1) UUKPKPU,
apabila harta pailit telah insolven maka kreditor separatis pemegang hak
tanggungan harus telah mengeksekusi barang jaminan dalam waktu 2 bulan setelah
keadaan insolven berlaku. Prosedur penjualan barang jaminan hak tanggungan oleh
kreditor separatis dilakukan dengan memedomani ketentuan Pasal 20 UUHT jo.
Pasal 185 ayat (1) UUKPKPU, yaitu dengan penjualan umum untuk mendapatkan harga
tertinggi.[15]
Berdasarkan Pasal 185 ayat (1) UUKPKPU disebutkan bahwa
“Semua Benda harus dijual di muka umum sesuai dengan tata cara yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan”.[16] Peraturan
perundang-undangan yang dimaksud dalam hal ini adalah Peraturan Dirjen Kekayaan
Negara No. tentang Petunjuk Teknis lelang, yang mana tentu saja untuk lelang
yang dilakukan terhadap hak tanggungan yang menjadi harta pailit berbeda dengan
lelang terhadap hak tanggungan biasa, di mana lelang atau penjualan umum
terhadap hak tanggungan yang masuk dalam harta pailit dokumen yang diajukan
juga terkait dengan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan kepailitan dalam
perkara tersebut.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 15 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016, disebutkan bahwa dalam hal terdapat permohonan lelang
eksekusi dari Kreditor pemegang hak agunan kebendaan yang terkait dengan
putusan pernyataan pailit, maka pelaksanaan lelang dilakukan dengan
memperhatikan UUKPKPU.
Apabila ternyata lelang/penjualan di muka umum
sebagaimana Pasal 185 ayat (1) tersebut tidak bisa dilakukan, maka berdasarkan Pasal
185 ayat (2) pada pokoknya menyatakan bahwa Kurator dapat melakukan penjualan
di bawah tangan dengan seizin Hakim pengawas.
Apabila obyek Hak Tanggungan telah
laku dijual, berdasarkan Pasal 189 ayat (4) huruf b dan ayat (5), maka metode
pembayarannya dapat dilakukan dari hasil penjualan benda terhadap mana mereka
mempunyai hak istimewa atau yang diagunkan kepada mereka, dan apabila ternyata
hasil penjualan tersebut tidak mencukupi untuk membayar seluruh piutang
Kreditor yang didahulukan maka untuk kekurangannya mereka berkedudukan sebagai
Kreditor Konkuren.
Selain diatur di dalam UUKPKPU tersebut, Mahkamah Agung telah
mengeluarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
109/KMA/SK/IV/2020 tentang Pemberlakuan Buku Pedoman Penyelesaian Perkara
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Salah satu pertimbangan
dari Ketua Mahkamah Agung mengeluarkan Keputusan tersebut untuk memastikan agar
seluruh Hakim Niaga, Hakim Pengawas dan seluruh staf kepaniteraan perdata niaga
memiliki pemahaman yang sama dan melaksanakan secara konsisten sesuai dengan
Undang-Undangan Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
Akan tetapi dalam Keputusan KMA Nomor 109 /KMA/SK/IV/2020
di Indonesia, tersebut tidak mengatur secara spesifik mengenai eksekusi hak
tanggungan dalam kepailitan melainkan membahas mengenai penjualan harta pailit,
yang mana di dalamnya juga mengatur mengenai prosedur penjualan harta pailit,
yang apabila disarikan terkait dengan eksekusi Hak Tanggungan dalam kepailitan
adalah sebagai berikut :
a. Semua benda harus dijual di muka umum sesuai dengan tata
cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. (Pasal 185 ayat 1
UUKPKPU);
b. Panitera Pengganti menginput dan mengunggah pengumuman
benda yang akan dijual ke dalam sistem informasi pengadilan;
c. Sebelum menjual harta pailit, perlu dilakukan penaksiran harga
oleh juru taksir (appraiser) yang telah bersertifikat, yang diusulkan
oleh Kurator dan ditetapkan oleh Hakim Pengawas sesuai dengan aturan lelang
(Peraturan Menteri Keuangan tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang) dan/atau
peraturan yang berlaku;
d. Harta pailit dijual oleh kreditor separatis (Kreditor
pemegang hak jaminan) dalam waktu 2 (dua) bulan setelah dinyatakan insolvensi;
e. Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) bulan Kreditor
Separatis tidak dapat menjual sendiri harta jaminannya, maka harta jaminan
tersebut harus diserahkan kepada Kurator untuk dijual di muka umum (Pasal 59
ayat (1) UUKPKPU);
f. Harta pailit lainnya (benda bergerak dan benda tidak
bergerak) dijual di depan umum oleh Kurator;
g. Dalam hal penjualan di depan umum/lelang tidak tercapai,
maka penjualan di bawah tangan dilakukan oleh Kurator dengan ijin Hakim
Pengawas (Pasal 185 ayat (2) UUKPKPU) setelah dilakukan penjualan di depan umum
minimal 2 (dua) kali, dibuktikan dengan risalah lelang;
h. Penjualan Harta Pailit di bawah tangan dilakukan
berdasarkan penilaian oleh Juru Taksir bersertifikat diambil harga tertinggi
antara harga pasar dan harga likuidasi;
i. Semua benda yang tidak segera atau sama sekali tidak
dapat dibereskan, maka kurator yang memutuskan Tindakan yang akan dilakukan
terhadap benda tersebut dengan izin Hakim pengawas, sepanjang tidak merugikan
harta pailit. (Pasal 185 ayat (3) UUKPKPU);
j. Hakim Pengawas harus menetapkan nilai jual di bawah
tangan tidak boleh di bawah harga likuidasi;
k. Dalam hal penjualan di bawah tangan belum laku, maka
setelah 12 (dua belas) bulan harta pailit dapat dinilai kembali oleh juru
taksir (appraiser) yang ditetapkan oleh Hakim pengawas (Peraturan Menteri
Keuangan tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang) dan/atau peraturan lainnya yang
berlaku;
l. Penetapan Izin Penjualan di Bawah Tangan harus
ditandatangani oleh Hakim pengawas.[17]
D. Kesimpulan
1. Problematika yang dihadapi dalam melaksanakan eksekusi
Hak Tanggungan Dalam Kepailitan dikaitkan adanya konflik norma antara UUHT dan
UUKPKPU, di mana di dalam UUHT, Kreditor pemegang Hak Tanggungan mempunyai
kedudukan sebagai de droit preference dan de droit suite, jadi apabila
Debitor melakukan wanprestasi maka Kreditor dengan kekuasaan sendiri dapat
menjual langsung obyek hak tanggungan. Akan tetapi ternyata hal ini tidak berlaku dalam eksekusi Hak Tanggungan dalam proses kepailitan. Apabila Debitor dijatuhi putusan
Pailit, meskipun dalam Pasal 55 ayat (1) UUKPKPU dinyatakan bahwa kreditor
pemegang hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan
atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi
kepailitan, akan tetapi ternyata diberlakukannya masa stay selama 90 hari dan
juga pembatasan selama 2 bulan untuk bisa menjual obyek hak tanggungan setelah
masa insolven sebagaimana Pasal 56 UUKPKPU. Sehingga dengan adanya
penangguhan/masa stay selama 90 hari, maka kreditor pemegang Hak Tanggungan
tidak bisa lagi melaksanakan hak eksekusinya, padahal setiap hak tanggungan
mempunyai titel eksekutorial yang memberikan kekuasaan kepada kreditor untuk
melakukan eksekusi terhadap benda jaminan dari debitor untuk pelunasan utang
yang tak terbayar. Dalam rangka menyelesaikan konflik norma, untuk dapat
melihat penerapan hukum/norma mana yang seharusnya berlaku tentu saja
diperlukan suatu asas untuk menyelesaikan konflik norma tersebut, yang dalam
hal ini dapat digunakan asas Lex specialis derogate legi generalis, maka
UU yang berlaku adalah UUKPKPU, dikarenakan meskipun sama-sama mengatur
mengenai Hak Tanggungan akan tetapi apabila sudah masuk ke ranah Kepailitan
yang merupakan sita umum, maka semuanya tetap tunduk ke dalam ranah kepailitan
yang mana dalam hal ini diatur dengan UUKPKPU, termasuk di dalamnya mengenai
proses eksekusi Hak Tanggungan dalam kepailitan. Sehingga dengan demikian
terkait dengan penerapan hak eksekusi Hak Tanggungan yang dijamin oleh UUHT
tetap dapat dilaksanakan akan tetapi untuk pelaksanaannya tetap harus tunduk
pada UUKPKPU.
2. Dengan demikian mengenai prosedur eksekusi Hak Tanggungan
dalam Kepailitan di Indonesia tetap memakai UUKPKPU di mana di dalamnya
Kreditor bisa melakukan eksekusi sendiri dengan Parate eksekusi tentu saja
setelah masa stay 90 hari, dan apabila ternyata dalam jangka waktu 2 bulan
setelah insolvensi ternyata Kreditor pemegang Hak Tanggungan belum bisa menjual
obyek hak tanggungan, maka dokumen-dokumen terkait dengan obyek Hak Tanggungan
tersebut harus diserahkan kepada Kurator untuk kemudian oleh Kurator akan
dilakukan penjualan umum sebagaimana dalam Pasal 185 ayat (1) UUKPKPU, dan
apabila ternyata tidak bisa dilakukan penjualan umum bisa dilakukan penjualan
di bawah tangan dengan ijin Hakim Pengawas. Selain UUKPKPU, Ketua Mahkamah
Agung RI juga telah mengeluarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI
Nomor 109/KMA/SK/IV/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penyelesaian Perkara
Kepailitan dan PKPU yang di dalamnya mengatur mengenai pedoman penyelesaian
perkara Kepailitan dan PKPU termasuk proses penjualan harta pailit termasuk
mengenai eksekusi Hak Tanggungan dalam kepailitan.
E. Saran
Untuk
menghindari adanya konflik norma atau kekaburan norma dalam UUKPKPU dan UUHT,
Pemerintah perlu melakukan revisi terhadap UUKPKPU supaya mengatur lebih tegas
lagi mengenai ketentuan tentang eksekusi Hak Tanggungan terutama pada Pasal-pasal sebagai berikut :
1. Pasal 55 ayat (1), perlu diubah untuk penggunaan
Bahasa dan istilah supaya pengaturan lebih jelas dan sistematis.
2. Pasal 57 ayat (1), Istilah insolvensi supaya diganti
dengan keadaan tidak mampu membayar, karena di Indonesia konsep kepailitan
tidak menggunakan istilah insolvensi sebagaimana konsep di luar negeri yang
menggunakan istilah insolvency law.
3. Pasal 59 ayat (1) mengenai waktu 2
bulan untuk melakukan eksekusi sendiri supaya sitambahkan agar tidak terlalu singkat,
mempertimbangkan juga waktu lelang, barang tidak laku atau sulit dijual yang
berpengaruh pada lamanya proses kepailitan.
4. Pasal 59 ayat (2) perlu ditambahkan mengenai batas
waktu sampai kapan penyelesaian yang akan dilaksanakan, akibatnya seringkali
penyelesaian butuh waktu lama sehingga merugikan harta pailit dan menimbulkan
ketidakpastian penyelesaian kepailitan.
5. Pasal 185, supaya ditambahkan ketentuan terkait
transparansi atau pemberitahuan kepada debitor.
DAFTAR PUSTAKA
1. Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Indonesia, Undang-undang tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, UU No. 37 Tahun 2004, LN Nomor 131,
Tahun 2004, TLN Nomor 4443
Indonesia, Undang-undang tentang Hak Tanggungan,
UU No. 4 Tahun 1996, LN Nomor 131, Tahun 2004, TLN Nomor 4443
Mahkamah Agung. Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI
tentang Pemberlakuan Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan dan PKPU. KMA
No. 109/KMA/SK/IV/2020.
2. Buku
Ginting, Elyta Ras. Hukum Kepailitan Pengurusan dan
Pemberesan Harta Pailit. Jakarta: Sinar Grafika, 2019.
Ginting, Elyta Ras. Hukum Kepailitan Teori Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika, 2018.
Ginting, Elyta Ras. Hukum Kepailitan Rapat-Rapat Kreditor. Jakarta: Sinar Grafika, 2018.
Mulyadi, Lilik. Perkara Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik, Bandung:Alumni, 2010.
Soemardjono, Maria SW. Hak Tanggungan dan Fidusia. Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1996.
Subhan, M. Hadi. Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan
Praktik di Pengadilan. Jakarta: Kencana, 2008
3. Jurnal Ilmiah
Agustina, Shinta. “Implementasi Asas Lex Specialis
Derogat Lex Generali Dalam Sistem Peradilan Pidana,” Masalah-Masalah Hukum (Vol.
44, No. 4 2015): 503
Sularto. “Perlindungan Hukum Kreditur Separatis Dalam
Kepailitan,” Mimbar Hukum (Vol. 24, No. 2, Juni 2012): 187-375
Silalahi, Udin, Claudia. “Kedudukan Kreditor Separatis
Atas Hak Jaminan Dalam Proses Kepailitan,” Masalah-Masalah Hukum (Jilid
49 No.1, Januari, 2020): Halaman 35-47
Subhan, M. Hadi. “Kedudukan Separatis (Hak Tanggungan) Dalam Kepailitan.” 2022
[1] Indonesia, Undang-undang tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, UU No. 37 Tahun 2004
(selanjutnya UUKPKPU), LN Nomor 131, Tahun 2004, TLN Nomor 4443, Pasal 1 angka
1.
[2] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgelijk
Wetboek], (selanjutnya KUHPerdata) diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.
Tjitrosudibio, (Bandung: Balai Pustaka, 1992), Pasal 1131.
[3] Ibid., Pasal 1132
[4] M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan
Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.
69-70.
[5] Indonesia, UUKPKPU, LN Nomor 131, Tahun
2004, TLN Nomor 4443, Pasal 55 ayat 1.
[6] Indonesia, Undang-undang tentang Hak
Tanggungan (selanjutnya disebut UUHT), LN Nomor 42, Tahun 1996, TLN Nomor 3632,
Pasal 1.
[7] Ibid., Pasal 6
[8] Ibid., Pasal 1 butir 1
[9] Maria SW Soemardjono, Hak Tanggungan
dan Fidusia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 2.
[10] Indonesia, UUKPKPU, LN Nomor 131, Tahun
2004, TLN Nomor 4443, Penjelasan Pasal 56 ayat (1)
[11] Mahkamah Agung. Keputusan Ketua
Mahkamah Agung RI tentang Pemberlakuan Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan
dan PKPU. KMA No. 109/KMA/SK/IV/2020, hlm. 67.
[12] Indonesia, UUKPKPU, LN Nomor 131, Tahun
2004, TLN Nomor 4443, Pasal 59 ayat (1)
[13] Shinta Agustina, “Implementasi Asas Lex
Specialis Derogat Lex Generali Dalam Sistem Peradilan Pidana,” Masalah-Masalah
Hukum (Vol. 44, No. 4, 2015): hlm. 503.
[14] Indonesia, UUKPKPU, LN Nomor 131, Tahun
2004, TLN Nomor 4443, Pasal 55 ayat (1).
[15] Elyta Ras Ginting, Hukum Kepailitan
Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit (Jakarta: Sinar Grafika, 2019), hlm.
268.
[16] Indonesia, UUKPKPU, LN Nomor 131, Tahun
2004, TLN Nomor 4443, Pasal 185
[17] Mahkamah Agung. Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI tentang Pemberlakuan Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan dan PKPU. KMA No. 109/KMA/SK/IV/2020, hlm. 68-69.